NATSIR Politik Santun Di antara Dua Rezim (Biografi)

NATSIR
Politik Santun Di antara Dua Rezim
Oleh Tria Sri Wahyuni 1306454694
Ilmu Sejarah UI 2013


Mohammad Natsir (17 Juli 1908-6 Februari 1993), adalah orang yang puritan. Hidupnya tidak berwarna-warni, tetapi keteladanannya yang sanggup menyatukan kata-kata dan perbuatan ini memiliki daya tarik tersendiri. Indonesia pada saat itu (rezim Soekarno, Demokrasi parlementer dan terpimpin), seakan-akan hidup pada sebuah lingkaran setan yang tak terputus : regenerasi kepemimpinan terjadi. Namun, Natsir seolah-olah sosok yang berada di luar lingkaran setan itu. Beliau bersih, tajam, konsisten dengan sikap yang diambil, dan bersahaja.

Muhammad Natsir
            Lahir di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, kabupaten Solok, Sumatera Barat, 17 Juli 1908. Seperti pada umumnya anak lelaki Minang pada masa itu, Natsir kecil juga kerap pergi ke surau yang tak jauh dari rumahnya, untuk mengaji. Surau bernama Surau Dagang, didirikan para pedagang dari nagari-nagari di sekitar Alahan Panjang. Masa kecilnya dihabiskan di berbagai tempat mengikuti sang ayah (Muhammad Idris Sutan Saripan) yang bekerja sebagai pegawai kolonial Belanda. Setelah tinggal di Alahan Panjang, Natsir pindah ke Maninjau dan bersekolah hingga kelas dua. Kemudian pindah ke Padang, untuk bersekolah di HIS (Holland Inlander School) Adabiyah—sekolah partikelir di Padang untuk menampung pribumi yang tidak diterima di sekolah pemerintah—hanya beberapa bulan saja. Tak lama kemudian, Natsir pindah ke Solok dan kali ini Natsir sekolah hingga kelas dua di HIS Solok dan dititipkan di rumah Haji Musa, seorang saudagar. Dan di sinilah Natsir belajar bahasa Arab dan Fiqih. Namun ketika ayahnya pindah ke Makassar, Natsir kembali ke Padang dan tinggal bersama kakaknya (Uni Rabiah), pada saat itu Natsir melanjutkan sekolahnya di terima di kelas V HIS—sekolah yang sempat menolak Natsir untuk menjadi muridnya. Dan di sana dia menamatkan pendidikan dasarnya sebelum akhirnya melanjutkan ke sekolah Meer Uitgebreid Lager Onder-wijs (MULO) di Bandung.
            Amien Rais yang berteman lama dengan Natsir, mengatakan bahwa Natsir seorang yang kutu buku. Ia banyak melahap buku filsafat barat, sejarah, sastra, dan mengikuti kabar internasional dari berbagai jurnal, ia pun juga melahap buku-buku karya Snouck Hurgronje—buku yang memaparkan strategi Hurgronje dalam menhadapi Islam. Dan buku ini membuat Natsir bertekad melawan Belanda melalui pendidikan.
            Setelah ia lulus dari MULO, Natsir melanjutkan sekolahnya ke AMS dengan mendapatkan beasiswa, di sana ia mulai tertarik dunia politik, ketertarikannya terhadap dunia politik mengantarkan ia bertemu Ahmad Hassan, pria keturunan India asal Singapura yang kemudian menjadi ahli agama di organisasi Persatuan Islam. Kepada Hassan lah Natsir berguru mengenai keIslaman dan agama. Awalnya Natsir tertarik dan bercita-cita menjadi ahli hukum dan kuliah hukum, namun mulai tertarik dengan agama dan memutuskan untuk melepaskan kesempatan kuliah hukum. Perguruannya dengan A.Hassan itu banyak sekali mempengaruhi jiwa dan arah hidup Natsir selanjutnya, sudah tentu dicampur dengan Agama, politik, dan soal pergerakan kemerdekaan. Yang membuat Natsir kerap mengunjungi A.Hassan ini adalah kecocokan pada pemikiran keduanya. Pemikiran Maju Natsir dengan pemahaman agama Hassan yag reformis, keduanya cocok. Sebenarnya, menurut pengakuan Natsir, ada tiga guru yang memengaruhi pemikirannya. A.Hassan, Haji Agus Salim, dan Ahmad Sjoorkati—pria asal Sudan, pendiri Al Irsyad, dan guru A.Hassan. Namun karena intensitas pertemuan yang lebih sering ke A.Hassan, membuat Natsir lebih dekat kepada Hassan.
            Selain itu, Natsir  juga aktif di kepanduan organisasi Pemuda Islam, Jong Islamiten Bond. Di organisasi Jong Islamiten Bond cabang Bandung yang didirikan oleh H. Agus Salim dengan Wiwono Purbohadijoyo,  Natsir bertemu dengan Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, dan Kasman Singodimedjo. Di sana Natsir juga bertemu dengan Nur Nahar yag kelak akan menjadi istrinya hingga akhir hayat.
            Sebagai aktivis politik, Natsir sering berinteraksi dengan tokoh pergerakan nasional kala itu, seperti Soekarno. Natsir pernah terpesona pada ajaran nasionalisme yang dikumandangkan Partai Nasional Indonesia. Ia pun rajin mendatangi rapat partai yang senantiasa menggelorakan perlawanan terhadap penjajah itu. Namun, keterpesonaanya itu hilang ketika mendengar ejekan terhadap Islam semakin sering muncul di tengah kampanye PNI kurun waktu 1920-1930. Bahkan Dr Sutomo pernah mengatakan “Pergi ke Digul lebih baik daripada pergi naik haji ke Mekkah. Sadarlah Natsir bahwa keterpesonaannya terhadap nasionalisme yang dipelopori oleh Soekarno dan kawan-kawannya mulai menyemai bibit kebencian dan meremehkan Islam. Padahal, PNI dan SI sama-sama gigih dalam melawan kolonialisme.  Itulah yang menyebabkan Natsir tak sepaham dengan Soekarno dalam memandang Islam. Ia lebih memilih berjuang dengan caranya, menulis di majalah bulana Pembela Islam yang tersebar  ke seluruh Indonesia. Dalam tulisan-tulisannya, Natsir ingin memberi garis pemisah tegas antara perjuangan kemerdekaan berdasar kebangsaan dengan berdasar cita-cita Islam. Namun, walaupun demikian, Natsir tetap membela Soekarno yang selama ini dia kritik saat Soekarno diadili pemerintah colonial Belanda sebelum dibuang ke Ende.
            Setelah lulus dari AMS, Natsir sebenarnya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah di fakultas hukum di Batavia atau fakultas ekonomi di Rotterdam. Namun, Natsir menolak itu semua, dan lebih memilih membangun sekolah partikelir—sebuah sekolah kecil di Jalan Lengkong Besar No 16 yang kemudian pindah ke No 74. Sekolah ini adalah proyek idealis. Lembaga pendidikan Islam yang modern, jauh dari kesan pesantren dan madrasah pada masa itu. Ia ingin menggabungkan ilmu pengetahuan umum yang diajarkan di sekolah Belanda dengan pelajaran agama.

Natsir dan Soekarno saat mesra
            “Bung Natsir, kita ini dulu berpolemik, ya, tapi sekarang jangan kita buka-buka soal itu lagi.” “Tentu tidak. Dalam menghadapi Belanda, bagaimana pula ? Nanti saja.”
Percakapan itu berlangsung pada 1946, ketika ibukota Republik berada di Yogyakarta. Soekarno menjadi presiden, sedangkan Mohammad Natsir menjadi menteri penerangan pada cabinet Sutan Syahrir kala itu. Ketika Syahrir mengusulkan Natsir menjdi menteri penerangan, Presiden Soekarno tidak keberatan. Justru ia menyambutnya dengan mengatakan, “Hij is de man” yang artinya dialah orangnya.
            Kedekatan Soekarno dengan Natsir terlihat pula saat krisis menjelang agresi militer Belanda yang ke dua, saat itu Soekarno ditawari oleh perdana menteri India untuk mengungsi di India. Dengan spontan Soekarno menerima tawaran itu dan spontan pula ia meminta Natsir untuk ikut bersamanya. Namun saat hendak pergi, Belanda sudah terlebih dahulu menyerbu dan menawan para pemimpin Republik. “Ketulusan di antara kami amat tinggi dan perbedaan tak ditonjolkan” ujar Natsir. Tatkala polemic pada 1930-an, Soekarno dan Natsir sesungguhnya juga saling menghormati pendapat masing-masing dan menjaga tali silaturahmi.
            Puncak kemesraan hubungan Soekarno dengan Natsir terlihat saat kembalinya NKRI dari RIS. Dalam membentuk negara kesatuan itu, dibuat panitia Persiapan yang terdiri dari semua utusan negara bagian. Dalam panitia itu, Sjafroedin Prawiranegara dari partai Masyumi mengusulkan agar NKRI dibentuk menjadi presidensil. Namun pendapat itu ditolak dan kalah suara oleh PNI dan PSI yang masih menginginkan bentuk parlementer. Keputusan ini tak cuma  mengecewakan Masyumi tetapi juga Soekarno karena perannya jadi amat terbatas saat itu. Maka ketika mosi kembali ke NKRI berhasil memenangi suara mayoritas di parlemen, Soekarno tak ragu menjawab pertanyaan wartawan tentang siapa yang akan memimpin kabinet. “Natsir dari Masyumi karena mereka mempunyai konsepsi untuk menyelamatkan Republik melalui konstitusi. Namun, kabinet Natsir hanya berumur tujuh bulan. Sangat disayangkan terpilihnya Natsir menjadi perdana menteri menjadi awal retaknya hubungan Soekarno dengannya.

Kesederhanaan Natsir
            Natsir yang pada saat itu menjabat sebagai menteri penerangan sebelum diangkat menjadi perdana menteri oleh Soekarno, sangat berpenampilan sederhana dengan memakai jas tambalan dan hanya memiliki kemeja dua setel. Jelas Kahin dalam bukunya memperingati 70 tahun Muhammad Natsir. Penampilannya pun tidak berubah saat ia diangkat menjadi perdana menteri. Tatkala Natsir mundur dari jabatannya sebagai perdana menteri pada Maret 1951, sekretarisnya Maria Ulfa menyodorkan catatan sisa dana. Saldonya cukup banyak. Maria mengatakan dana itu menjadi hak perdana menteri. Namun Natsir menggeleng dan akhirnya uang itu disumbangkan ke koperasi karyawan tanpa sepeser pun dinikmati Natsir.
Pola hidup sederhana itu juga berpengaruh pada anak-anaknya yang juga hidup berkesederhanaan. Pola hidup sederhana itu yang membuat Natsir dan anak-anak Natsir mampu bertahan saat peristiwa yang mengubah takdir mereka dari “anak Menteng” menjadi “anak Hutan” di Sumatera terkait pemberontakan PRRI saat kabinet Djuanda juga terkait dengan Masyumi yang ketua-ketuanya termasuk Natsir dianggap pemerintah sebagai dalang dari pemberontakan itu akibat dari ketidakadilan pemerintah pusat terhadap daerah dan melawan komunis.
            Setelah periode hidup di hutan dan Natsir mendekam dari satu penjara ke penjara yang lain selama 1960-1966, keluarganya kehilangan rumahnya di Jalan Jawa, juga mobil sederhananya. Mereka menjalani hidup nomaden. Setelah Natsir bebas dari Rumah Tahanan Militer Keagungan Jakarta pada 1966, Natsir membeli rumah dari kawannya dengan harga sederhana di Jalan Jawa 46 (sekarang jalan H.O.S Cokroaminoto) Jakarta Pusat.
            Kesederhanaanya tetap ia tunjukkan saat memimpin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia pada masa Orde Baru. Bekas Menteri-Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, yang ketika itu pernah menjadi anggota staf Natsir, menuturkan bahwa bosnya pergi ke kantor hanya mengenakan kemeja itu-itu saja. Dan saat ulang tahunnya yang ke-80, Natsir memberikan wasiat kepada anak-anaknya supaya menjaga rumah keluarga di jalan Cokroaminoto 46 dan buku-buku karyanya. Lima tahun kemudian (6 Februari 1993) Natsir menutup mata selamanya. Namun setahun sepeninggal ayahnya, kelima anaknya, sepakat untuk menjual rumah peninggalan almarhum karena mereka tak sanggup membayar pajaknya.

Diajukan untuk tugas akhir Mata Kuliah Pemikiran Politik

Komentar

Pos Terpopuler