AKU DALAM KONTEKS BUDAYA

     
       Ketika gue kecil, gue sering tanya ke ibu, apakah gue bersuku Jawa, Sunda, ataukah Betawi. Sebagai manusia yang dilahirkan dan dibesarkan di Bekasi, Jawa Barat, yang notabene cukup kental dengan unsur Betawinya (bisa dilihat dari masyarakat yang logat bicaranya yang mirip betawi karena letak geografisnya yang bersebelahan dengan Jakarta), namun juga kental dengan unsur Sundanya (bisa dilihat dari muatan lokal yang diajarkan dari SD hingga SMA adalah bahasa Sunda), gue mengalami kebimbangan identitas suku hingga saat ini. Ibu gue keturunan Jawa tulen. Dia dari Brebes, Jawa Tengah. Ibu gue dilahirkan dan dibesarkan di sana, sebelum akhirnya bermigrasi ke Jakarta bersama bapak gue setelah mereka menikah. Bapak gue keturunan Jawa-Sunda, Jawa dari kakek gue (Yogyakarta) dan Sunda (Bogor) dari Nenek gue. Kakek gue pun yang notabene dilahirkan di Yogyakarta, juga lebih lama tinggal di Jakarta dan menetap hingga sekarang. Tapi meskipun bapak gue keturunan Jawa-Sunda, bapak gue lahir dan besar di Jakarta. Keluarga gue yang awalnya tinggal di Jakarta, pindah ke Kota Bekasi dan menjadi pendatang di sana.

        Kalau dilihat dari latar belakang kedua orangtua gue, menurut ibu gue, gue itu orang Jawa. Tapi itu belum menjawab kebimbangan gue terhadap identitas suku yang gue anut. Bapak gue adalah keturunan Jawa-Sunda yang lahir dan dibesarkan di Jakarta. Lahir dan besar di Jakarta. Perlu ditekankan di sini bahwa, gimana bapak gue bisa dikatakan sebagai orang Jawa kalau ia sendiri pun lahir dan besar di Jakarta ? bahkan ketika gue menanyakan bapak gue apakah dia ngerti bahasa Jawa ataupun Sunda, jawabnya adalah tidak. Patut dimaklumi karena memang bapak gue lahir dan besar di Jakarta serta tidak pernah mengenal dan merasakan berbahasa Jawa ataupun Sunda dalam keluarganya.

          Begitupun dengan gue yang lahir dan dibesarkan di Bekasi. Budaya dan bahasa yang gue anut selama ini adalah percampuran antara Betawi dan Sunda. Kebimbangan-kebimbangan seperti inilah yang gue rasakan hingga sekarang. Bahkan ketika teman-teman gue tanya suku apa yang gue anut, gue bingung jawabnya. Gue selalu menjawab bahwa gue adalah orang Jawa. Tapi ketika teman-teman gue ngajak gue ngomong bahasa Jawa, mereka pun kaget karena gue gak bisa bahasa Jawa. Tanggapan-tanggapan seperti itu juga sering gue dapatkan ketika gue berinteraksi dengan orang Jawa tulen. Bahkan ketika gue pergi mengunjungi keluarga gue yang berada di Brebes, Jawa Tengah, mereka seperti menstereotipkan bahwa gue adalah orang kota yang sama sekali asing dan tidak tahu menahu tentang Jawa. 

           Barangkali stereotip mereka terhadap gue ada benarnya karena memang gue lebih mengetahui kebudayaan-kebudayaan kekinian daripada budaya Jawa itu sendiri. Stereotip mereka terhadap gue gak lepas dari peran serta globalisasi yang berkembang dalam masyarakat kota. Hal ini menyebabkan perubahan terhadap berbagai gaya hidup gue. Gaya hidup tradisional berubah menjadi gaya hidup modern. Apapun yang berbau tradisional dianggap sebagai sesuatu yang ‘tertinggal’ oleh masyarakat modern. Semakin banyak dan mudahnya kebudayaan – kebudayaan asing masuk ke dalam sebuah bangsa di era globalisasi seperti saat ini, semakin memudahkan masyarakatnya tersebut kehilangan identitas dirinya. Inilah yang menyebabkan munculnya stereotipe-stereotipe masyarakat desa terhadap masyarakat kota.

          Ini adalah efek yang ditimbulkan dari sebuah pemahaman yang dikenal dengan efek globalisasi di mana seseorang telah kehilangan jati dirinya dan tidak mempunyai pandangan atau rancangan untuk hidupnya sendiri. Ketika gue mencoba merenungkan sejenak, apakah baju yang gue pakai adalah suatu ciri khas bangsa gue ? apakah gaya hidup yang gue anut adalah sebuah produk orosinil Indonesia ? Engga, baju yang yang gue kenakan sekarang bukan sebuah identitas Indonesia, gaya hidup yang gue lakoni juga bukan “style Indonesia”, yang gue kenakan sekarang adalah hasil akulturasi dan asimilasi dari kebudayaan-kebudayaan luar.

          Gue mulai setuju dengan anggapan teman-teman gue mengenai gue orang kota yang tidak tahu menahu tentang Jawa tapi mengaku sebagai orang Jawa. Gak mengherankan lagi jika mereka berpendapat seperti itu. Dengan lebih seringnya intensitas gue berinteraksi dengan masyarakat kota yang notabene merupakan masyarakat yang lebih modern, itu membuat gue pun ikut terbawa dalam arus tersebut. Jangankan budaya Jawa, budaya Indonesia pun, dalam diri gue masih berada pada taraf gamang. Bahkan gue pun masih bimbang, seperti apakah budaya Indonesia itu ?


Ini adalah re-posting dari tumblr gue sendiri
Kunjungi juga tumblr gue
http://triasriw.tumblr.com

Komentar

Pos Terpopuler