Pengalaman Pertama Jadi Guru: Awalnya Gak Suka, Jadi Cinta. (Part 1)
![]() |
| Foto ini diambil bulan Oktober 2018 waktu acara workshop. |
Rabu, 1 Agustus 2018 telah menjadi hari
bersejarah dalam hidup gue. Diutus menjadi guru SMP Negeri 37 Kota Bekasi
membuat gue syok bukan main. Sebelum cerita ini, gue akan mundur ke peristiwa
yang gak kalah bersejarah, 14 hari sebelum tanggal 1 Agustus.
Yap, Senin, 16 Juli 2018, nama
gue tercatat sebagai tenaga kontrak yang harus direlokasi ke ‘tempat asal’. Ya,
setidaknya itu menurut mereka. Entah karena apa nama gue tetiba aja ada di
daftar para lulusan guru yang bakal diposisikan kembali sesuai latar belakang
pendidikan. Gila, pikir gue. Ini BKD (Badan Kepegawaian Daerah) lagi ngantuk
atau matanya emang seliwer ? Kok bisa nama gue nyasar ke Dinas Pendidikan ? Gue
masih berusaha menyangkal dengan menghibur diri sendiri. Mungkin aja mereka
memindahkan gue ke bagian struktural, bukan jadi guru, pikir gue saat itu ! Gue
berusaha berpikir positif dan stay cool di hadapan teman-teman Kelurahan yang
mulai bisik-bisik tetangga ngomongin gue ! Ih menyebalkan.
Hari
pemanggilan pun tiba. Ternyata pikiran positif gue gak ada yang bener.
Nama-nama yang tertulis di SK (Surat Keputusan) emang bakal direlokasi buat
jadi guru. Akhirnya kami yang tercantum di SK Dinas Pendidikan diharuskan
menulis surat pernyataan bersedia atau tidaknya mengabdi sebagai guru. Jadi
pilihan gue cuma dua. Jadi guru atau tetap di kelurahan. Jangan tanya gue
bersedia jadi guru atau engga ! Jawaban yang pertama kali keluar dari mulut gue
adalah, TIDAK BERSEDIA. Kaget kan ? Iya, tapi itu kenyataannya. Alasannya ?
Sederhana. Gue bukan guru. Itu yang gue bilang ke Ketua BKD. Gue jelasin
panjang lebar tentang latar belakang ilmu murni dengan ilmu pendidikan segala
macam ke mereka. Yah intinya sih mereka paham kalau ilmu murni itu beda dengan
pendidikan. Tujuan kuliah pendidikan itu buat character building yang nantinya bakal diterapkan ke siswa,
sedangkan gue yang ilmu murni ini lebih ke how to apply our knowledge for
solving the problem in the future. Yah gitu deh pokoknya. Alhasil BKD pun
ngerti kalau mereka melakukan sebuah keseliweran. Gue pun diizinkan pulang.
Sampai di
rumah, bukannya disambut dengan bahagia, gue malah kena marah sama orangtua.
Mereka mempertanyakan kenapa gue begitu gegabah ambil keputusan yang mungkin
akan memengaruhi masa depan gue nanti. Lalu gue jelaskan positif negatifnya ke
mereka kalau gue jadi guru. Mereka gak mau kalah ! Mereka jelasin juga baik dan
buruknya kalau gue tetap di kelurahan. Perdebatan itu berlangsung kira-kira dua
jam. Perdebatan kami ditutup dengan pernyataan orangtua gue yang nyelekit abis.
They said, “Kamu itu terlalu takut terhadap apa yang belum
terjadi !”
Jleb banget ya Tuhaaann. Gue cuma diam terus pergi ke kamar. Gue pun
minta saran ke teman-teman gue yang udah berpengalaman ngajar. Mereka semua
menyarankan supaya gue ganti pernyataan gue dan milih buat jadi guru. Gue
benar-benar merasa takdir gue ke depan di tentukan hari itu.
“Masih belum
terlambat ubah pernyataan ke BKD !” Mama bilang.
“Kelurahan itu lebih menakutkan Triaaa ! Sadaaarrr !” kata
Mama.
“Kamu mau makan hati setiap hari kalau kerja di kelurahan ?”
kata Bapak
“Ya itusih terserah kamu, yang jalanin kamu ! Tapi mama gak
mau denger kamu ngeluh-ngeluh sama nangis-nangis lagi gara-gara orang kelurahan
!”
Hening…
Benar kata mama, yang gue takutkan itu sebenernya hal-hal
yang belum terjadi semua. Gue malu. Merasa jadi pengecut. Kabur sebelum perang.
Akhirnya, setelah melalui pemikiran yang panjang selama semalam suntuk, gue
putuskan untuk mengubah pernyataan gue jadi bersedia.
Saat itu gue meyakini kalau jalan yang gue pilih itu hanya
akan gue jadikan sebagai pengalaman. Gak lebih. Gue gamau terlibat apapun yang
berhubungan dengan perasaan. Intinya gue gak mau sense of belonging gue
berkembang di sana.
Singkat cerita turunlah SK gue dari Dinas Pendidikan. Bukan
isinya yang bikin kaget, tapi karena sekolah yang tercantum di SK itu SMPN 38
Bekasi. Gue baru tau kalau SMP 38 itu bukan sekolah yang di belakang Gentra !
Dan gue baru tau kalau sekolah yang di belakang Gentra itu SMPN 37 ! Astagaaa….
Kok bisa-bisanya ya.
Karena kesalahan itu, akhirnya gue minta pindah ke SMPN 37.
Berhasil. Tapi bukan jadi guru IPS. Jadi guru apa coba ?
![]() |
| Foto ini diambil September 2018, waktu pelantikan Pak Walikota |
Yap, guru Bahasa Indonesia.
Cerita ini akan dilanjutkan di postingan selanjutnya




Komentar
Posting Komentar